Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Sumber Gambar : finishwellunbiologi.blogspot.com |
Pendahuluan
Apakah diabetes mellitus itu?
Menurut
American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu
kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung,
dan pembuluh darah. Sedang sebelum nya WHO 1980 berkata bahwa DM merupakan
suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan gangguan
insulin. Tampaknya terdapat dalam keluarga tertentu; berhubungan dengan
aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan predisposisi untuk terjadinya
kelainan mikrovaskular spesifik seperti retinopati, nefropati dan neuropati.
Perubahan
dalam diagnosis dan klasifikasi yang pernah tercetus pada tahun 1965 oleh WHO
telah terjadi pada 1980 dan kemudian diperbaharui pada tahun 1985 dan 1994.
Sedang pada tahun 1997, ADA (American Diabetes Association) memperbaharuinya
lagi, walaupun sampai saat ini dalam kehidupan sehari-hari tampak masih banyak
tenaga kesehatan belum mengetahuinya, apalagi memahami atau menjalankannya
dalam pekerjaannya ketika berhadapan dengan penderita diabetes.
Para pakar
di Indonesia pun bersepakat melalui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan diabetes
mellitus, yang kemudian juga melakukan revisi consensus tersebut pada tahun
1998, 2002, dan 2006 dengna menyesuaikannya dengan perkembangan baru.
Secara
epidemiologis diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini.
penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes
tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahaan perilaku
rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologis diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik
yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Selain itu
karena diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan malahan menurut P.
Zimmet sudah merupakan suatu epidemic, banyak penelitian dilakukan untuk
mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian yang bertujuan
untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, ada yang berusaha untuk
mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang mempelajarinya dampak
diabetes pada beberapa populasi di dunia.
Diagnosis
Diagnosis DM
harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis
DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaanyang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium
klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemabtauan kendali mutu secara
teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai
bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka criteria diagnostic yang berbeda sesyai pembakuan
oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah
kapiler.
Ada
perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring Uji diagnostic DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyarinya positif, untuk memastikan diagnosis
definitive.
Pemeriksaan
penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut
:
1.
Usia ≥ 45 tahun
2.
Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa
tubuh (IMT) > 23 kg/m2,
yang disertai dengan faktor resiko :
-
Kebiasaan tidak aktif
-
Turunan pertama dari orang tua dengan DM
-
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi
> 4000 gram, atau riwayat DM-gestasional
-
Hipertensi (≥ 140/90 mmHg)
-
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida
≥ 250 mg/dL
-
Menderita polycyctic ovarial syndrome
(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
-
Adanya riawayat toleransi glukosa yang terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
-
Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan
penyaring untuk tujuan skrining masal (mass screening) tidak dianjurkan
mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengna recana
tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain
atau general check-up.
Pemeriksaan
penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Populasi 5-10 thaun kemudian 1/3
kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainya kembali
normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok
TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok
normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan
dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar
deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder
dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosisi diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa
Diagnosis
klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapt dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien
wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik
kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kdar glukosa sekwatu ≥ 200 mg/dl pada
hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl.
Cara
pelaksaan TTGO (WHO, 1994)
-
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan
seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap
melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
-
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari)
sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
-
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
-
Diberikuan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau
1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dlam waktu
5 menit
-
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
-
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam
sesudah beban glukosa
-
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa
tetap istirahat dan tidak merokok
Nilai atau indeks diagnostic lainnya
Definisi
keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada pemeriksaan
kadar glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna
dalam menentukan subklas, penelitian epidemiologi, dalam menentukan mekanisme
dan perjalanan alamiah diabetes.
Untuk
diagnosis dan klasifikasi ada indek tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian :
1.
Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta:
Hal ini dapat nilai dengan periksaan kadar insulin,
pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai
Glycosilated hemoglobin (WHO memakai istilah Glycated hemoglobin), nilai
derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa
juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.
2.
Indeks proses diabetogenik
Untuk penelitian proses diabetogenik pada saat ini telah
dapat dilakukan penentuan tipe dan sub tipe HLA; adanya tipe dan titier
antibody dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans (islet
cell anti-bodies), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan sel
endokrin lainnya; adanya Cell-mediated immunity terhadap pankreas;
ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit
lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.
Perkembangan Klasifikasi Diabetes Melitus
Dalam
beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinis maupun laboratories
menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu keadaan yang heterogen baik
sebab maupun macamnya. Selama bertahun-tahun hal ini telah digumuli oleh banyak
ahli ternama dengan tujuan mencapai persetujuan internasional tentang prosedur
diagnostic, criteria, dan terminology. Dahulu terdapat banyak perbedaan dalam
masing-masing bidang walaupun telah diusahakan untuk mendapat suatu konsensus.
Pada tahun
1965 WHO dengan Expert Committee on Diabetes-nya mengeluarkan suatu
laporan yang berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya
penyakit, dan menganjurkan pemakaian istilah-istilah pada klasifikasi tersebut
seperti: Childhood diabetics, Young diabetics, Adult diabetics, dan Elderly
diabetics. Tetapi di kenyataannya di kemudian hari pembagian yang tegas
tidak dapat dilakukan sebab sebagian dari pasien yang berumur kurang dari 30
tahun mendapat diabetes tipe orang dewasa yang tidak begitu berat (Maturitu
onset diabetes of the young atau MODY) dan sebaliknya didapat pasien-pasien
yang berumur lebih dari 40-45 tahun yang insulin dependent atau
memerlukan insulin (insulin requiring) untuk mempertahankan asupan
makanan yang cukup agar dapat mempertahankan kekuatan dan stabilitas berat
badannya.
Pada tahun
1968, American Diabetes Association membuat rekomendasi mengenai standarisasi tes toleransi glukosa. Pembagian
ini mengenal istilah-istilah Pre-diabetes, suspected siabetes, chemical atau
latent diabetes dan overt diabetes. Sedang British Diabetes Association
memakai istilah potential diabetes, latent diabetes, asymptomatic
atau sub-clinical diabetes dan clinical diabetes. Baru pada tahun
1978 hal ini mulai dibicarakan lebih dalam oleh European Society for the Study
of Diabetes (EASD) di Zagreb dan sebuah pertemuan internasional in Bethesda
dengan sponsor NDDG dari NIH (USA) yang kemudian pada tahun 1979 dilaporkan
oleh NDDG dan kemudian dengan versi yang agak berbeda oleh WHO Expert
Committee (1980).
Klasifikasi
yang dipakai WHO dan NDDG tidak didasarkan atas umur atau waktu mendapat
diabetes tetapi berdasarkan tipe diabetes. Joslin (1971) pernah membaginya atas
Hereditary dan Non-hereditary, dimana Hereditary terbagi
lagi atas Growth-onset (juvenile) type dan Maturity-onset
(adult) type.
Walaupun
secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang berpendapat
diabetes hanay merupakan suatu spectrum defisiensi insulin. Individu yang
kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes Juvenile
onset atau insulin dependent atau ketosis prone, karena tanpa
insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan
ketoasidosis.
Pada ekstrem
yang lain terdapat individu yang stable atau maturity onset atau non insulin
dependent. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relative
dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin
(insulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun
insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan
jumlah insulin secara absolute bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi
ini biasanya berhubunga dengan obesitas dan atau inaktifitas fisik.
Kelompok
besar lainnya (NIDDM atau Diabetes tipe 2) tidak mempunyai hubungan dengan HLA,
virus atau auto-imunitas dan biasanya mempunyai sel beta yangmasih berfungsi,
sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.
Secara umum
klasifikasi WHO 1980 sudah mulai diterima tetapi kemudian masuk berapa usul dan
komentar mengenainya sehingga dalam klasifikasi baru WHO 1985, hal ini telah ditampung dan diperbaiki. Hal
yang paling penting adalah ditambahkannya Malnutrition Related Diabetes
Mellitus sebagai subklas utama, sejajar dengan IDDM dan NIDDM. Tetapi kembali ADA
1997 tidak memasukkan MRDM dalam klasifikasi tersendiri tetapi dimasukkan
kedalam DM tipe lain.
Dalam
terminology juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak lagi
terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai
dikenal umum maka untuk tidak membungungkan maka kedua istilah ini masih dapat
dipakai tetappi tanpa mempunyai arti khusus seperti implikasi etiopatogenik.
Istilah ini pun kemudian kembali digunakan oleh ADA pada tahun 1997, sehingga
DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang NIDDM
(DMTTI) dan IDDM (DMTI).
Di
Indonesia, Askandar pada tahun 1996 dan 1998 mencoba membuat suatu klasifikasi
praktis untuk DM dan membaginya menjadi 5 kelompok : IDDM, NIDDM, MODY, DM tipe
X 1 dan X 2 yang identik dengan DM tipe 1 ½ (Zimmet, 1993) dan DM tipe 3
identik dengan LADA (Latent Autoimmune Diabetes of Adult, Tuomi 1993).
Definisi IGT
(Toleransi Glukosa Terganggu) pada 1979-80 oleh WHO dan NDDG menggantikan
istilah-istilah sebelumnya seperti Borderline Diabetes, Pre-diabetes
dan Chemical diabetes.
Penetapan klasifikasi tipe 1 dan tipe 2:
Diabetes
pada orang dewasa seringkali langsung dinyatakan sebagai DM tipe 2, hal ini
sebenarnya merupakan suatu kesimpulan yang terlalu cepat diambil, karena
diabetes tipe ini merupakan suatu kelainan yang sangat heterogen dan mempunyai
berbagai bentuk. Suatu studi di Denmark memberikan suatu gambaran lainyaitu DM
tipe 1 tidak jarang terjadi pada orang dewasa. Ia dapat terjadi pada semua umut
dan kekerapan akan meningkat secara kumulatif mulai dari umur 30 tahun,
sehingga resiko terjadinya DM tipe 1 berhubungan dengan umur-lama hidup. Sedang
di New Zealand, DM pada orang dewasa 14% menggunakan insulin dan diantara
mereka 83% telah memulai pemakaiannya sebagai pengobatan permanene kurang dari
12 bulan setelah diagnosis diabetes ditegakkan.
Mereka yang
mendapat insulin sebelum 12 bulan ini secara bermakna mempunyai kadar
auto-antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase). GAD ini merupakan
autoantigen terhadap sel beta pankreas dan terdapat pada 80% DM tipe 1 baru dan
juga terdapat pada 80% subyek 10 tahun sebelum terjadinya diabetes tipe 1. Pada
penelitian UKPDS (Inggris) orang dengan DM tipe 2 ternyata 13,4% mempunyai anti
GAD yang positif, dan diabtara mereka setelah 6 tahun, 90% kemudian memakai
insulin, sedang yang dengan anti GAD negative hanya 6% yang kemudian memakai
insulin. Memang diabetes tipe 1 pada orang dewasa pada mulanya tidak akan
memberikan gambaran klinis yang spesifik sehingga akan sulit untuk
mengklasifikasikan seorang berumur 35-50 tahun yang tidak gemuk sebagai
diabetes, dan untuk kelompok seperti ini ditegakkan macam-macam etilogi
diabetes.
Kadang-kadang
memang sukar untuk menetapkan seseorang termasuk dalam klasifikasi tipe apa. Misalnya,
seorang dengan diabetes tipe 2 dan berat badan kurang, selama ini memakai
insulin seringkali dianggap sebagai tipe 1. Atau seorang anak atau remaha yang
baru diketahui diabetes dan berasal dari keluarga dengan diabetes dengan
kerutunan autosomal dominan diabetes (MODY). Orang ini biasanya masuk ke dalam
Diabetes tipe 2 dan sebaiknya tidak diklasifikasikan sebagai tipe 1 hanya
berdasarkan umurnya saja. Juga terdapat orang dengan diabetes dengan
karakteristik diabetes tipe 2 dan memerlukan insulin untuk mengendalikan
diabetes tetapi tidak tergantung pada insulin untuk mencegaj terjadinya
ketoasidosis, sebaiknya tidak diklasifikasikan sebgai tipe 1, hanya berdasarkan
pamekaian insulinnya.
Dibawah ini
ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan
DM tipe 2 :
DM tipe 1:
-
Mudah terjadi ketoasidosis
-
Pengobatan harus dengan insulin
-
Onset akut
-
Biasanya kurus
-
Biasanya pada umur muda
-
Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4
-
Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)
-
Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%
-
30-50% kembar identik terkena
DM tipe 2 :
-
Tidak mudah terjadi ketoasidosis
-
Tidak harus dengan insulin
-
Onset lambat
-
Gemuk atau tidak gemuk
-
Biasanya > 45 tahun
-
Tidak berhubungan dengan HLA
-
Tidak ada Islet Cell Antibody (ICA)
-
Riwayat keluarga (+) pada 30%
-
± 100% kembar indentik terkena
Daftar
Pustaka
1.
Adam JMF. Survey Diabetes Melitus pada
Sekelompok Penduduk di Ujung Pandang, Universitas Hasanudin, Ujung Pandang.
1982.
2.
Albin J, Rifkin H. Etiologies of Diabetes
Mellitus. In Symposium on Diabetes Mellitus. Med Clin N A. 1982;66 (6) :
1209-26.
1.
Raskin P American Diabetes Association. Medical
Management of Non-Insulin Dependent (Type II) Diabetes. 3rd ed.
Clinical Education Series. 1994.
2.
Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus. Kapita
Selekta 1998 (pengalaman Klinik di Pusat Diabetes dan Nutrisi Surabaya). Dalam
Naskah Simposium Recent Advances in the Management of NIDDM. Surabaya. April
1998.
No comments:
Post a Comment